Risalah berita islam

Monday, July 1, 2019

Sebuah Puisi Andai KekasihMu Bersama kami

Merenung


Andainya kekasih-Mu, masih berada bersama -sama kami.
Akan terlunaslah segala hutang dan semakin hampirlah
Dengan harumnya baginda sebelum hilangnya.
Rasa yang meronta-ronta untuk berada hampir dengan kekasih-Mu.

Berada bersanding dengannya jiwa turut menjadi harum.
Dan apa saja yang kalian minta kepada Allah, akan diperkenankan
Cahaya Nabi Muhammad tidak akan pernah sirna
Sempatkanlah kami bertemu dengan baginda rasul, wahai Tuhan Yang Maha Mempernankan doa

Hidayanhmu kepada alam merata luas.
Tanda hampinya kasih sayang Tuhan Pemberi Hidayah
Hadits-haditsmu ibarat sungai mengalir jernih.
Berada disisimu bagaikan dahan yang tumbuh subur dan basah.

Kutebus diriku dengan dirimu wahai kekasihku.
Nabi Muhammad yang mulia lagi asing.
Berada disisimu jiwa menjadi harum.
Wahai yang diutus membawa rahmat kepada seluruh alam.

🌺🌺🌺🌺🌺

===============================

Wednesday, July 4, 2018

Hukum Dalam Mendengarkan Nasyid Islami





Penanya:
Apa pendapat anda mengenai nasyid Islami yang tidak menggunakan duff (rebana), sekedar permainan suara?

Syaikh Shalih Al Fauzan menjawab:
Kami tidak mengetahui landasan disyariatkannya hal tersebut. Ini termasuk perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Jika dinisbatkan kepada Islam dengan disebutkan sebagai “nasyid Islami” ini bermakna bahwa Islam mensyariatkannya. Dan ini tidak ada landasannya.

Demikian juga, jika nasyid-nasyid ini dimaksudkan dalam rangka untuk ketaatan kepada Allah dan ber-taqarrub kepada-Nya, maka seperti ini merupakan syiar kaum sufi. Merekalah yang menggunakan nasyid-nasyid sebagai bentuk metode beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka kesimpulannya, seorang Muslim hendaknya tidak perlu mengindahkannya.

Betul bahwasanya al insyad artinya bersyair, ini tidak mengapa. Yaitu seseorang bersyair sendirian, bukan berjamaah, tanpa disertai dengan nada-nada, jadi hanya seorang diri ia bersyair. Syair itu bisa memberikan manfaatnya dan bisa diambil manfaatnya,

sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memiliki beberapa penyair yang bersyair dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun mendengarkan mereka.

Demikian juga ketika sedang melakukan suatu pekerjaan dan merasa bosan dalam bekerja, kemudian seseorang bersyair agar lebih semangat lagi melakukan pekerjaan, maka ini tidak disebut nasyid. Namun sekedar potongan-potongan syair yang bisa membuat semangat bekerja. Dan tidak dilakukan dengan bersama-sama dengan nada-nada dan nagham-nagham.

Maka nasyid-nasyid tersebut jika tidak dinisbatkan kepada Islam, ia adalah laghwun (kesia-siaan). Namun jika dinisbatkan kepada Islam, maka ia termasuk kebid’ahan.

Penanya:
Wahai Syaikh, sebagian orang mendengarkan nasyid-nasyid ini di mobil, di rumah, intinya mereka mendengarkan nasyid di setiap waktu.

Syaikh Shalih Al Fauzan menjawab:
Ini tidak ada landasannya dan hal ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia. Yang semestinya didengarkan oleh setiap orang adalah Al Qur’an Al Karim yang sekarang ini sudah banyak rekamannya. Dengan mendengarkan Al Qur’an sudah terdapat hal-hal yang dia butuhkan dan ia inginkan.

Demikian juga mendengarkan muhadharah (pengajian) dan pelajaran-pelajaran agama. Jangan menyibukkan waktunya untuk mendengarkan nasyid-nasyid. Nasyid-nasyid tidak memberikan manfaat apapun kecuali kelezatan musiknya.

***
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=SX8kk44sUks
Penerjemah: Yulian Purnama

Thursday, June 7, 2018

Apakah kita termasuk Mengenal Allah Hanya di Bulan Ramadhan Saja


Bulan Ramadhan adalah bulan tarbiyah yang mendidik kita agar terbiasa melakukan berbagai amal shalih, menjadi lebih baik dan meninggalkan segala maksiat yang merugikan diri sendiri. Harusnya setelah Ramadhan, seorang muslim menjadi lebih baik, akan tetapi -wal ‘iyadzu billah-  ada juga orang yang setelah Ramadhan kembali menjadi buruk bahkan lebih buruk daei sebelumnya. Ramadhan hanya ia gunakan momentum sesaat untuk mengenal Allah dan setelah Ramadhan ia berniat untuk kembali bermaksiat kepada Allah dan melupakan Allah sebagai penciptanya.
Terdapat sebuah ungkapan dari salaf kita:
ﺑﺌﺲ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ
“Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan saja.”
Syaikn Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa makna ungkapam ini adalah benar apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban agama setelah ramadhan. Semisal Ramadhan rajin shalat dan memakai jilbab, namun setelah Ramadhan shalat bolong-bolong dan kembali melepas jilbab. Beliau menjelaskan,
ﻭﻫﺬﺍ ﺻﺤﻴﺢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻀﻴﻌﻮﻥ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻻ، ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺘﺮﻛﻮﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﺎﻟﻘﻮﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺑﺼﺤﻴﺢ، ﻟﻜﻦ ﻣﺮﺍﺩﻩ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺘﺮﻛﻮﻥ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ، ﻳﻌﻨﻲ : ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻳﺘﺮﻙ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﻯ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﺜﻼً، ﻓﻬﺬﺍ ﺑﺌﺲ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻷﻧﻬﻢ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﺑﻬﺬﺍ
“Ungkapan ini adalah benar apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban agama. Apapun jika tidak, ia hanya meninggalkan sebagian perkara ijtihad. Ungkapan ini adalah benar, akan tetapi maksudnya adalah meninggalkan hal-hal wajib, semisal shalat pada bulam Ramadhan kemudian ia tinggalkan shalat selain bulan Ramadhan, maka ini adalah sejelek-jelek kaum karena mereka telah melakukan kekafiran.”[1]
Meninggalkan shalat sangat berbahaya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ ﻭَﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ
“(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”[2]
Yang sebelumnya melakukan shalat kemudian tidak melakukannya lagi diibaratkan pintalan yang rapi kemudian terurai dan tercerai berai.
Allah ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻛَﺎﻟَّﺘِﻲ ﻧَﻘَﻀَﺖْ ﻏَﺰْﻟَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻗُﻮَّﺓٍ ﺃَﻧْﻜَﺎﺛًﺎ
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. (Qs. an-Nahl: 92)
Hendaknya kita sangat berhati-hati dan semoga Allah menolong kita, agar kita tidak berniat jelek, yaitu hanya ingin meninggalkan maksiat di bulan Ramadhan saja, sedangkam selepas Ramadhan kita berniat melakukannya lagi.
Ibnu Taimiyyah berkata,
من يعزم على ترك المعاصي في شهر رمضان دون غيره فليس هذا بتائب مطلقاً ولكنه تارك للفعل في رمضان
“Barangsiapa bertekad meninggalkan maksiat di bulan Ramadhan saja, tanpa bertekad di bulan lainnya, maka ia bukan seorang yang bertaubat secara mutlak, akan tetapi ia hanyalah sekedar orang yang meninggalkan perbuatan maksiat di bulan Ramadlaan”[3]
Semoga kita bisa menjadi bulan Ramadhan dnn puasa sebagai peningkat ketakwaan kita karena inilah tujuannya sebagaimana dalam Al-Quran:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 183)
@ Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Tuesday, June 5, 2018

Hukum Membaca Al-Quran dari Handphone/Aplikasi


Kemudahan di zaman ini adalah adanya aplikasi Al-Quran di gadget dan HP yang memudahkan orang membaca Al-Quran di mana saja, karena umumnya manusia lebih ingat dan lebih mudah membawa gadget/HP daripada membawa mushaf, mengingat gadget adalah kebutuhan pokok manusia di zaman ini.
Perlu diketahui bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa membaca Al-Quran lebih baik dan lebih utama daripada membacanya di Aplikasi/gadget, sehingga hendaknya kita sebisa mungkin membaca Al-Quran dari mushaf jika memungkinkan.
Dalilnya adalah hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan membaca dari mushaf,
ﻣﻦ ﺳﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ، ﻓﻠﻴﻘﺮﺃ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ
“ Siapa yang ingin dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka bacalah mushaf .”[1]
Demikian juga pendapat Syaikh Khalid Al-Mushlih. Beliau ditanya,
ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ :
ﺃﻳﻬﻤﺎ ﺃﻓﻀﻞ : ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻮﺍﻝ ﺃﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ؟
“Mana yang lebih utama membaca Al-Quran dari handphone/gadget atau dari mushaf?”
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ :
ﺑﺎﻟﺘﺄﻛﻴﺪ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﺃﻓﻀﻞ، ﻭﺃﻋﻈﻢ ﺃﺟﺮًﺍ، ﻭﺍﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﻋﺒﺎﺩﺓ، ﻟﻜﻦ ﻣﻴﺰﺓ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻮﺍﻝ ﺃﻧﻬﺎ ﺑﺄﻳﺪﻱ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺃﻳﺴﺮ ﻟﻬﻢ، ﻭﺃﻳﻀًﺎ ﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺣﻤﻞ ﺍﻟﺠﻮﺍﻝ ﺇﻟﻰ ﻃﻬﺎﺭﺓ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺟﻬﺰﺓ ﺍﻟﺤﺪﻳﺜﺔ ﺃﻳﺴﺮ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺑﺎﻟﻤﺼﺤﻒ، ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺮﻗﺎﺕ ﻭﺃﻣﺎﻛﻦ ﺍﻻﻧﺘﻈﺎﺭ، ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺘﻴﺴﺮ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ
“Tentu saja membaca dari mushaf lebih utama bahkan lebih besar pahalanya. Melihat pada mushaf adalah ibasah, akan tetapi keistimewaan membaca dari handphone adalah lebih mudah, dan juga tidak mengharuskan memegang handphone (aplikasi Al-Quran) dalam keadaan suci. Oleh karena itu membaca dengan gadget modern seperti ini lebih memudahkan bagi manusia daripada membaca melalui mushaf. Lebih-lebih pada kondisi sedang menunggu (antri pada suatu tempat) di mana tidak memungkinkan bagi manusia membaca dari mushaf.” [2]
Bahkan syaikh Shalih Al-Fauzan menegaskan jika ada mushaf dan Ada handphone, maka pilihlah membaca dengan mushaf, beliau berkata,
ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺮﻑ ﺍﻟﺬﻱ ﻇﻬﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ، ﺍﻟﻤﺼﺎﺣﻒ ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻣﺘﻮﻓﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﺑﻄﺒﺎﻋﺔ ﻓﺎﺧﺮﺓ ، ﻓﻼ ﺣﺎﺟﺔ ﻟﻠﻘﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻮﺍﻝ
“Ini termasuk kemewahan pada manusia (memakai handphone). Mushaf sangat banyak di masjid dengan cetakan yang bagus. (Dalam keadaan ini) tidak perlu membaca dengan handphone.”[3]
Kesimpulan dan catatan:
1. Kita usahakan semampu kita membaca Al-Quran dari mushaf
2. Bagi yang bisa membaca Al-Quran ukuran saku, ini lebih baik karena ia bisa membawa Al-Quran ke mana saja
3. Al-Quran dalam aplikasi lebih memudahkan bagi mereka yang mungkin susah membawa Al-Quran ukuran besar ke mana-mana sehingga bisa saja ia baca dari aplikasi
4. Al-Quran dalam aplikasi juga memudahkan wanita haid dan nifas serta yang tidak dalam keadaan suci untuk membaca Al-Quran karena hukumnya berbeda antara mushaf dengan Al-Quran di aplikasi. Salah satu pendapat ulama adalah menyentuh mushaf harus dalam keadaan suci.
@ Masjid Ibnu Sina, FK UGM
Penyusun: Raehanul Bahraen

Sunday, March 25, 2018

Menerjang yang Haram dalam Kondisi Darurat


Saat darurat boleh menerjang yang haram, namun adakah syarat-syaratnya atau asal menerjang saja?
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata dalam bait syairnya,
وَ لاَ مُحَرَّمٌ مَعَ اِضْطِرَارٍ
Tidak ada yang diharamkan di saat darurat.
Para fuqoha lainnya mengungkapkan kaedah di atas dengan perkataan,
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Dalil Kaedah
Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173)
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al An’am: 119). Ayat pertama, berkaitan dengan makanan. Ayat kedua, sifatnya lebih umum.
Menerjang yang Haram dengan Syarat
Menerjang yang haram tidak asal menerjang, namun ada syarat-syarat berikut yang mesti diperhatikan:
1- Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram. Contoh: Ada yang haus dan ingin minum khomr. Perlu diketahui bahwa khomr itu tidak bisa menghilangkan rasa haus. Sehingga meminum khomr tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan dhoror (bahaya).
2- Tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dhoror. Contoh: Ada wanita yang sakit, ada dokter perempuan dan dokter laki-laki. Selama ada dokter wanita, maka tidak bisa beralih pada dokter laki-laki. Karena saat itu bukan darurat.
3- Haram yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
4- Yakin akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau yang nantinya terjadi.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.
Qowaid Muhimmah wa Fawaid Jammah, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Maktabah Al Imam Ibnul Qayyim, cetakan pertama, 1433 H.
@ Panggang, Gunungkidul, 3 Rabi’uts Tsani 1435 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Tanda Kiamat: Munculnya Gunung Emas


Di antara tanda kecil terjadinya kiamat (asyraatus saa’ah ash-sughra) adalah mengeringnya sungai Efrat di Irak, sehingga muncullah gunung emas dari sungai tersebut. Manusia pun saling bunuh untuk memperebutkannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَحْسِرَ الْفُرَاتُ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ، يَقْتَتِلُ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَيُقْتَلُ مِنْ كُلِّ مِائَةٍ، تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، وَيَقُولُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ: لَعَلِّي أَكُونُ أَنَا الَّذِي أَنْجُو
“Kiamat tidak akan terjadi sampai sungai Efrat mengering sehingga muncullah gunung emas. Manusia pun saling bunuh untuk memperebutkannya. Dari setiap seratus orang (yang memperebutkannya), terbunuhlah sembilan puluh sembilan orang. Setiap orang dari mereka mengatakan, ‘Mudah-mudahan aku-lah orang yang selamat.’” (HR. Muslim no. 2894)
Bukanlah yang dimaksud dengan “gunung emas” di sini adalah minyak bumi, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Meskipun minyak bumi sendiri dalam bahasa kita sering disebut dengan istilah “emas hitam”. Anggapan semacam ini adalah tidak tepat, dengan ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama, hadits di atas tegas menyebutkan “gunung emas”, adapun minyak bumi secara hakikatnya bukanlah emas. Karena emas adalah barang tambang yang sudah kita kenal, berbeda dengan minyak bumi.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa air sungai Efrat akan mengering, lalu tampaklah (muncullah) gunung emas tersebut, sehingga bisa dilihat oleh manusia. Adapun minyak bumi, harus diambil dari dalam bumi dengan alat-alat tambang di kedalaman yang sangat jauh.
Ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan sungai Efrat saja, tanpa menyebutkan sungai atau lautan yang lain. Sedangkan minyak bumi, sebagaimana yang kita ketahui, bisa ditambang dari laut atau dari dalam bumi, di tempat-tempat penambangan yang sangat banyak.
Keempat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia akan saling bunuh untuk memperebutkan simpanan ini. Kenyataannya, hal ini tidaklah terjadi ketika ditemukannya cadangan minyak bumi, baik di sungai Efrat ataupun di tempat-tempat lainnya.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang siapa saja yang melihat kemunculan gunung emas tersebut untuk mengambilnya sedikit pun. Sebagaimana yang juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُوشِكُ الْفُرَاتُ أَنْ يَحْسِرَ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَمَنْ حَضَرَهُ فَلَا يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا
“Segera saja sungai Efrat akan mengering lalu nampaklah gunung emas. Barangsiapa yang menjumpainya, jangan diambil sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2894)
Dalam redaksi hadits yang lain disebutkan,
عَنْ كَنْزٍ مِنْ ذَهَبٍ
“ … lalu nampaklah simpanan berupa emas …” (HR. Bukhari no. 7119 dan Muslim no. 2894)
Oleh karena itu, barangsiapa yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan gunung (simpanan) emas tersebut adalah minyak bumi, konsekuensinya adalah melarang siapa pun untuk menambang (mengambil) minyak bumi sebagaimana larangan dalam hadits di atas. Tentu saja, tidak ada satu pun yang berani mengatakan demikian.
Semua ini adalah bukti bahwa memaknai “gunung emas” dengan “minyak bumi” adalah anggapan yang tidak tepat dan mengada-ada.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa sebab dilarangnya mengambil emas dari gunung tersebut adalah untuk mencegah terjadinya kekacauan dan saling bunuh di antara manusia. (Fathul Baari, 13/81)
Diselesaikan ba’da subuh, Rotterdam NL 1 Rajab 1439/ 18 Maret 2018
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Ketika Benda Mati dan Binatang Buas Berbicara


Di antara tanda kiamat kecil (asyraatus saa’ah ash-shughra) adalah binatang buas bisa berbicara atau ngobrol dengan manusia. Demikian pula halnya dengan benda-benda mati. Mereka mengabarkan kepada manusia apa yang terjadi ketika seseorang pergi dari rumahnya. Sebagian anggota badan manusia pun bisa berbicara, semacam paha, yang mengabarkan kepada seseorang apa yang terjadi dengan istri atau anggota keluarganya. Ini adalah salah satu tanda kiamat kecil yang wajib kita imani.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau menceritakan bahwa seekor serigala datang ke penggembala kambing. Kemudian serigala tersebut mengambil salah satu kambing milik sang penggembala. Sang penggembala pun mengejarnya sampai berhasil menarik kembali kambing yang digigit serigala tadi.
Abu Hurairah melanjutkan, “Serigala tersebut kemudian naik ke atas bukit dan duduk dengan pantatnya dan memasukkan ekornya di antara kedua pahanya sampai bisa menempel perutnya. Serigala tersebut kemudian berkata,
عَمَدْتَ إِلَى رِزْقٍ رَزَقَنِيهِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ انْتَزَعْتَهُ مِنِّي
‘Teganya dirimu mengambil rizki yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepadaku, kemudian Engkau tarik lagi (kambing itu, pen.)’
Sang penggembala berkata,
تَالَلَّهِ إِنْ رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ ذِئْبًا يَتَكَلَّمُ
‘Demi Allah! Tidaklah aku pernah melihat kejadian sebagaimana hari ini, aku melihat serigala bisa berbicara.’
Serigala tersebut menjawab,
أَعْجَبُ مِنْ هَذَا رَجُلٌ فِي النَّخَلَاتِ بَيْنَ الْحَرَّتَيْنِ، يُخْبِرُكُمْ بِمَا مَضَى وَبِمَا هُوَ كَائِنٌ بَعْدَكُمْ
‘Ada yang lebih mengherankan daripada ini, yaitu ada seorang laki-laki (yang dimaksud adalah Rasulullah, pen.) yang tinggal di daerah penuh dengan pohon kurma (yaitu kota Madinah, pen.) yang terletak di antara dua harroh (yaitu batas kota Madinah, pen.) dan dia bisa mengabarkan apa yang telah terjadi di masa silam dan apa yang akan terjadi setelah kalian.’
Perlu diketahui bahwa sang penggembala tersebut adalah seorang Yahudi. Sehingga dia pun datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan peristiwa yang dia alami. Nabi pun membenarkan (percaya) cerita sang penggembala tersebut, kemudian bersabda,
إِنَّهَا أَمَارَةٌ مِنْ أَمَارَاتٍ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، قَدْ أَوْشَكَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ فَلَا يَرْجِعَ حَتَّى تُحَدِّثَهُ نَعْلَاهُ وَسَوْطُهُ مَا أَحْدَثَ أَهْلُهُ بَعْدَهُ
‘Sesungguhnya di antara tanda terjadinya kiamat adalah sebentar lagi seorang itu akan keluar dari rumah dan tidaklah dia kembali ke rumahnya sampai kedua sandal dan cambuknya menceritakan apa yang dilakukan oleh istri (keluarganya) setelah kepergiannya.’”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (15: 202-203, hadits nomor 8049). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Sanadnya shahih.”
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau juga menceritakan kisah yang sama di atas, kemudian beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَدَقَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُكَلِّمَ السِّبَاعُ الْإِنْسَ، وَيُكَلِّمَ الرَّجُلَ عَذَبَةُ سَوْطِهِ، وَشِرَاكُ نَعْلِهِ، وَيُخْبِرَهُ فَخِذُهُ بِمَا أَحْدَثَ أَهْلُهُ بَعْدَهُ
“Benar apa yang dikatakan oleh si Yahudi ini. Demi Allah, Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kiamat tidak akan terjadi sampai binatang buas bisa berbicara dengan manusia dan ujung cambuk seseorang bisa bercerita kepada pemiliknya, demikian pula tali sandal seseorang, juga pahanya (bisa menceritakan) apa yang dilakukan istrinya setelah kepergiannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (3: 83-84). Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata, “Sanad hadits ini shahih, para perawinya adalah perawi tsiqah, yaitu para perawi Muslim kecuali Al-Qasim. Dia ini tsiqah dengan sepakat ulama, dan dipakai riwayatnya oleh Muslim dalam muqaddimah (Shahih Muslim).” (Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah, 1/31)
Catatan Penting
Sebagian orang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan benda mati bisa berbiacara adalah apa yang kita jumpai berupa teknologi saat ini, semacam radio atau handphone, yang hakikatnya benda mati namun bisa mengeluarkan suara. Ini adalah anggapan yang tidak benar sebagaimana yang bisa dilihat dalam hadits riwayat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu di atas. Bahwa yang berbicara adalah tali sandal, cambuk, dan anggota badan seseorang (paha), yang sama sekali berbeda dengan radio dan handphone.
Diselesaikan menjelang maghrib, Rotterdam NL 27 Jumadil akhir 1439/ 17 Maret 2018
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Monday, March 19, 2018

Ayat Al Qur’an Tentang Cadar


Wanita Muslimah disyariatkan untuk menutup wajah mereka di depan lelaki ajnabi (non-mahram). Atau dengan kata lain, disyariatkan bagi mereka untuk memakai cadar. Ini adalah hal yang ada dan diajarkan dalam Islam. Para ulama 4 madzhab menyatakan bahwa menutup wajah bagi wanita adalah perkara yang dianjurkan, atau bahkan sebagian ulama berpendapat hal ini diwajibkan. Mereka berdalil dengan dalil-dalil dari Al Quran dan As Sunnah.
Dalam kesempatan ini akan kami sampaikan beberapa dalil dari Al Qur’an yang menjadi dasar disyariatkannya menutup wajah bagi wanita.

Dalil 1
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al Ahzab: 33).
Imam Ath Thabari rahimahullah menjelaskan:
ثم اختلف أهل التأويل في صفة الإدناء الذي أمرهن الله به فقال بعضهم: هو أن يغطين وجوههن ورءوسهن فلا يبدين منهن إلا عينا واحدة
“Para ulama tafsir khilaf mengenai sifat menjulurkan jilbab yang diperintahkan Allah dalam ayat ini. Sebagian mereka mengatakan: yaitu dengan menutup wajah-wajah mereka dan kepala-kepala mereka, dan tidak ditampakkan apa-apa kecuali hanya satu mata saja.“[1]
Silakan buka kitab tafsir manapun di ayat ini, pasti ada disebutkan pendapat sebagian ulama tentang perintah menutup wajah wanita.

Dalil 2
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik hijab.” (QS. Al Ahzab: 53).
As Sa’di rahimahullah menjelaskan:
يكون بينكم وبينهن ستر، يستر عن النظر، لعدم الحاجة إليه. فصار النظر إليهن ممنوعًا بكل حال
“Maksudnya, hendaknya antara engkau (lelaki) dan para istri Nabi ada penghalang yang menghalangi pandangan. Karena tidak ada kebutuhan untuk memandangnya. Maka dari sini, lelaki memandang wanita (yang bukan mahram) hukumnya terlarang dalam keadaan apapun.” [2]
Syaikh Sulaiman bin Shalih Al Kharrasyi dalam kitab “Waqafat Ma’a Man Yara Jawaza Kasyfil Wajhi” (15) mengatakan:
هذه الآية يتفق العلماء على أنها تدل على وجوب الحجاب وتغطية الوجه
“Para ulama sepakat bahwa ayat ini menunjukkan adanya kewajiban memakai hijab dan menutup wajah (wanita)”
Terlepas dari adanya khilaf ulama mengenai khithab ayat ini dan juga mengenai hukum cadar, namun jelas dalam ayat ini terdapat wajh (sisi pendalilan) akan disyariatkannya cadar.


Dalil 3
Allah Ta’ala berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka (para wanita) menjulurkan kain jilbab ke dada mereka” (QS. An Nuur: 31).
Dalam Shahih Bukhari, disebutkan hadits dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu’anha, beliau mengatakan:
لمَّا نزلت ْهذه الآيةُ : { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } . أخذْنَ أزُرَهنَّ فشَقَقْنَها من قِبَلِ الحَوَاشِي ، فاخْتَمَرْنَ بها
“Ketika turun ayat :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
para wanita shahabiyah mengambil kain-kain mereka, kemudian mereka merobeknya dari ujung-ujungnya dan ber-khimar dengannya.” [3]
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah -ulama besar madzhab Syafi’i– menjelaskan perkataan Aisyah radhiallahu’anha ini:
قَوْلُهُ فَاخْتَمَرْنَ أَيْ غَطَّيْنَ وُجُوهَهُنَّ وَصِفَةُ ذَلِكَ أَنْ تَضَعَ الْخِمَارَ عَلَى رَأْسِهَا وَتَرْمِيَهُ مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ عَلَى الْعَاتِقِ الْأَيْسَرِ
“Perkataan beliau [ber-khimar dengannya], maksudnya adalah mereka menutup wajah-wajah mereka. Caranya yaitu dengan meletakkan khimar tersebut di atas kepala mereka lalu menjulurkan kainnya dari sisi kanan ke pundah yang kiri.”[4]
Maka menurut penjelasan Ibnu Hajar, para sahabiyah memahami ayat di atas sebagai perintah untuk menutup tubuh mereka termasuk wajah.


Dalil 4
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“dan janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” (QS. An Nur: 31).
Para ulama khilaf dalam memaknai ayat إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (kecuali yang (biasa) nampak daripadanya). Namun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu memaknai ayat ini bahwa wanita tidak boleh menampakkan kecuali pakaiannya saja.
عن عبد الله، أنه قال: (وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا) : قال: هي الثياب
“Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata tentang ayat: [dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya], maksudnya: kecuali pakaiannya“[5]
Demikian juga penafsiran dari Ibrahim An Nakha’i dan Al Hasan Al Bashri rahimahumullah.
Maka ayat ini pun menujukkan bahwa wajah pun ditutup oleh pakaian.

Dalil 5
Allah Ta’ala berfirman:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nur: 60).
Ibnu Katsir menjelaskan:
قال ابن مسعود في قوله ” فليس عليهن جناح أن يضعن ثيابهن ” قال : الجلباب أو الرداء وكذلك روي عن ابن عباس وابن عمر ومجاهد وسعيد بن جبير وأبي الشعثاء وإبراهيم النخعي والحسن وقتادة والزهري والأوزاعي وغيرهم
“Ibnu Mas’ud menafsirkan ayat [tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka] maksudnya adalah jilbab mereka atau rida‘ mereka. Demikian juga yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Mujahid, Ibnu Jubair, Abusy Sya’tsa, Ibrahim An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Az Zuhri, Al Auza’i dan selain mereka”. [6]
Kebanyakan ulama salaf memaknai “jilbab” sebagai kain yang menutupi bagian atas termasuk wajah. Asy Syaukani membawakan beberapa penjelasan ulama mengenai makna jilbab,
قَالَ الْجَوْهَرِيُّ: الْجِلْبَابُ: الْمِلْحَفَةُ، وَقِيلَ: الْقِنَاعُ، وَقِيلَ: هُوَ ثَوْبٌ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِ الْمَرْأَةِ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، فَقَالَ: «لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا» قَالَ الْوَاحِدِيُّ: قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: يُغَطِّينَ وجوههنّ ورؤوسهنّ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً، فَيُعْلَمُ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ فَلَا يعرض لهن بِأَذًى. وَقَالَ الْحَسَنُ: تُغَطِّي نِصْفَ وَجْهِهَا. وَقَالَ قَتَادَةُ: تَلْوِيهِ فَوْقَ الْجَبِينِ وَتَشُدُّهُ ثُمَّ تَعْطِفُهُ عَلَى الْأَنْفِ وَإِنْ ظَهَرَتْ عَيْنَاهَا لَكِنَّهُ يَسْتُرُ الصَّدْرَ وَمُعْظَمَ الْوَجْهِ
“Al Jauhari mengatakan, jilbab adalah milhafah (kain yang sangat lebar). Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah al qina’ (sejenis kerudung untuk menutupi kepala dan wajah). Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita. Sebagaimana dalam hadits shahih, dari hadits Ummu Athiyyah, bahwa ia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab’. Lalu Rasulullah menjawab: ‘hendaknya ada dari kalian yang menutupi saudarinya dengan jilbabnya‘. Al Wahidi mengatakan: ‘menurut para ulama tafsir jilbab digunakan untuk menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu matanya saja, sehingga diketahui mereka adalah wanita merdeka sehingga tidak diganggu orang’. Al Hasan mengatakan: ‘jilbab digunakan untuk menutupi setengah wajah wanita’. Qatadah mengatakan: ‘jilbab itu menutupi dengan kencang bagian kening, dan menutupi dengan ringan bagian hidung. Walaupun matanya tetap terlihat, namun jilbab itu menutupi dada dan mayoritas wajah’” [7]
Said bin Jubair menjelaskan makna ayat ini:
” أن يضعن من ثيابهن ” وهو الجلباب من فوق الخمار فلا بأس أن يضعن عند غريب أو غيره بعد أن يكون عليها خمار صفيق
“[tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka] maksudnya jilbab mereka yang ada di atas khimar. Maka tidak mengapa dilepas di depan orang asing atau selainnya, jika mereka mengenakan khimar yang tebal.”[8]
Maka ayat ini memberikan keringanan bagi wanita tua yang sudah menopause untuk melepaskan kain atasan mereka yang menutupi wajah dan dada mereka. Namun mereka tetap memakai khimar.
Maka mafhumnya, wanita yang belum menopause diperintahkan untuk terus mengenakan jilbab di depan lelaki non-mahram. Dan “jilbab” di sini maknanya kain atasan yang menutupi kepala, wajah dan dada.
Sehingga dalam ayat ini ada isyarat diperintahkannya wanita menutup wajahnya.
Demikianlah beberapa dalil dari Al Qur’an Al Karim tentang disyariatkannya menutup wajah bagi wanita, berdasarkan penafsiran para ulama Islam.

Semoga bermanfaat.
***
Penulis: Yulian Purnama